Perlindungan
Konsumen di Indoensia
Pengertian Konsumen
Konsumen
secara harfiah memiliki arti, orang atau perusahaan yang membeli barang
tertentu atau menggunakan jasa tertentu, atau sesuatu atau sese orang
yangmenggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang. Dalam Undang-Undang No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mendefinisikan konsumen sebagai
setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan. Berdasarkan dari pengertian tersebut, yang
dimaksud konsumen orang yang berststus sebagai pemakai barang dan jasa.
Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum
yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti,
perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya,
permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan
kebutuhan barang / jasa. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan
konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan.
RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999.
Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1),
pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42
Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang
Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001
tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam
Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang
ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan
Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan
Konsumen
Dengan
diundang-undangkannya masalah perlindungan konsumen, dimungkinkan dilakukannya
pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha.
Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya
secara hukum di badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK).
Dasar hukum tersebut
bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan perlindungan
konsumen. Di samping UU Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah
perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum
sebagai berikut :
·
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen
Nasional.
·
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
·
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat.
·
Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat,
Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta Kota Surabaya,
Kota Malang, dan Kota Makassar.
·
Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
·
Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan
Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar,
Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta,
dan Kota Medan.
Perlindungan Konsumen
Berdasarkan UU no.8
Pasal 1 Butir 1 Tahun 1999, tentang perlindungan konsumen disebutkan
bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum untuk
melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus,
memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu
merugikan hak
konsumen.Dengan adanya
UU Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak
dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika
ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.
Perlindungan konsumen
yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap
segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari ”benih hidup dalam rahim
ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan diantara keduanya”.
Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkab atas hukum untuk
memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang
dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila
dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Di bidang perindustrian
dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau
jasa yang dapatdikonsumsi.Di samping itu, globalisasi dan perdagangan
bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika
telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi
batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan
bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang
demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan
konsumen akan barang dan/atau jasayang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin
terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau
jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsum Di sisi lain, kondisi dan
fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan
konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah.
Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang
sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta
penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Faktor utama yang
menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih
rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh
karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan
hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan
pendidikan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini
penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada
dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat kentungan yang semaksimal
mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan
kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Atas dasar kondisi
sebagaimana dipaparkan diatas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan
undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integrative dan
komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.
Piranti hukum yang
melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi
justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang
sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi
persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Di samping itu,
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap
memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal ini
dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.
Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan
nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan
perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia
seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu
dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945.
Disamping itu,
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal
dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai
pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan Konsume ini telah ada
beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti:
a.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961
tentang Barang, menjadi Undang-undang;
b.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang
Hygiene;
c.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah;
d.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang
Metrologi Legal;
e.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang
Wajib Daftar Perusahaan;
f.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian;
g.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang
Ketenagalistrikan;
h.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang
Kamar Dagang dan Industri
i.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan;
j.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang
Agreement Establishing The World
k.
Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
l.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas;
m. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
n.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan;
o.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Hak Cipta sebagai mana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987;
p.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;
q.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek;
r.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
s.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Penyiaran;
t.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan;
u.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Perlindungan konsumen
dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAKI) tidak
diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah
diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten, dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997
tentang Merek, yang melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau
jasa yang melanggar ketentuan tentang HAKI.
Demikian juga
perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup tidak diatur dalam
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena telah diatur dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai
kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup
serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Di kemudian hari masih
terbuka kemungkinan terbentuknya undang- undang baru yang pada dasarnya memuat
ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian, Undang-undang
tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan paying yang mengintegrasikan dan
memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.
Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen
di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bias
memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya
asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan
yang benar-benar kuat.
Asas perlindungan konsumen .
Berdasarkan UU
Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen yaitu :
1.
Asas manfaat
Maksud asas ini adalah
untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelau usaha secara keseluruhan.
2.
Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan
agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
3.
Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan
untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti material maupun spiritual.
4.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan
untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
5.
Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan
agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian
hukum.
Tujuan perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan
Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai
berikut :
Ø Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri.
Ø Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
Ø Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya
sebagai konsumen.
Ø Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
Ø Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
Ø Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Hak dan Kewajiban
Konsumen
Hak-Hak Konsumen
Sebagai pemakai
barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang
hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang
kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil
terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian
bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia
tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar
oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU
Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
·
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
·
Hak untuk memilih dan mendapatkan
barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
.
·
Hak atas informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
·
Hak untuk didengar pendapat keluhannya
atas barang/jasa yang digunakan.
·
Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
·
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan
pendidikan konsumen.
·
Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
·
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
·
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam
pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang
mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi
dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain
hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat
negatif persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa
kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak
jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan curang”.
Di Indonesia persaingan
curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan
demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah
diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8
tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur
tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang
melindungi konsumen (bab VII), bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya
(bab IX, X, dan XI).
Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen
adalah :
o Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
o Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
o Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
o Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
Prinsip-Prinsip
perlindungan konsumen
prinsip bertanggung jawab berdasarkan
kelalaian
Tanggung jawab
berdasrkan kelalaian adalah suatu prinsip tanggung jawab yang bersifat
subjektif, yaitu suatu tanggung jawabysng ditentuksn oleh perilaku produsen.
Sifat subjektifitas muncul pada kategori bahwa seseorang yang bersikap
hati-hati mencegah timbulnya kerugian pada konsumen. Berdasarkan teori
tersebut, kelalaian produsen yang berakibat pada munculnya kerugian konsumen
merupakan faktor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan tuntutan kerugian
kepada produsen. Di samping faktor kesalahan dan kelalaian produsen, tuntutan
ganti kerugian berdasarkan kelalaian produsen diajukan dengan bukti-bukti,
yaitu :
1)
Pihak tergugat merupakan produsen yang
benar-benar mempunyai kewajiban untuk melakukan tindakan yang dapat menghindari
terjadinya kerugian konsumen.
2)
Produsen tidak melaksanakan kewajiban
untuk menjamin kualitas produknya sesuai dengan standar yang aman untuk di
konsumsi atau digunakan.
3)
Konsumen penderita kerugian.
4)
Kelalaian produsen merupakan faktor yang
mengakibatkan adanya kerugian pada konsumen (hubungan sebab akibat antara
kelalaian dan kerugian konsumen)
5)
Dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan
kelalaian juga mengalami perkembangan dengan tingkat responsibilitas yang
berbeda terhadap kepentingan konsumen, yaitu:
6)
Tanggung Jawab atas Kelalaian dengan
Persyaratan Hubungan Kontrak
Teori murni prinsip
tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah suatu tanggung jawab yang
didasarkan pada adanya unsur kesalahan dan hubungan kontrak. Teori ini sangat
merugikan konsumen karena gugatan baru dapat diajukan jika telah memenuhi dua
syarat, yaitu adanya unsur kesalahan atu kelalaian dan hubungan kontrak antara
produsen dan konsumen. Teori tanggung jawab produk brdasrkan kelalaian tidak
memberikan perlindungan yang maksimal kepada konsumen, karena konsumen
dihadapkan pada dua kesulitan dalam mengajukan gugatan kepada produsen,
yaitu, pertama, tuntutan adanya hubungan kontrak antara konsumen sebagai
penggugat dengan produsen sebagai tergugat. Kedua, argumentasi produsen bahwa
kerugian konsumen diakibatkan oleh kerusakan barang yang tidak diketahui.
Ø Kelalaian Dengan Beberapa Pengecualian Terhadap Persyaratan Hubungan
Kontrak
Perkembangan tahap kedua
teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah prinsip tanggung jawab yang
tetap berdasarkan kelalaian namun untuk beberapa kasus terdapat pengecualian
terhadap persyaratan hubungan kontrak. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, bahwa persyaratan hubungan kontrak merupakan salah satu hambatan
konsumen untuk mengajukan ganti kerugian kepada produsen. Prinsip ini tidak
memeihak kepada kepentingan konsumen, karena pada kenyataanya konsumen yang
sering mengalami kerugian atas pemakaian suatu produk adalah konsumen yang
tidak memiliki kepentingan hukum dengan produsen.
Ø Kelalaian Tanpa Persyaratan Hubungan Kontrak
Setelah prisip tanggung
jawab atas dasar kelalaian dengan beberapa pengecualian terhadap hubungan
kontrak sebagai tahap kedua dalam perkembangan substansi hukum tanggung jawab produk,
maka tahap berikutnya adalah tahap ketiga yaitu sistem tanggung jawab yang
tetep berdasarkan kelalaian, tetapi sudah tidak mensyaratkan adanya hubungan
kontrak.
Ø Prinsip Paduga Lalai dan Prinsip Bertanggung Jawab dengan Pembuktian
Terbaik
Tahap pekembangan
trakhir dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah dalam bentuk
modifikasi terhadap prisip tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini
bermakna, adanya keringanan-keringanan bagi konsumen dalam penerapan tanggung
jawab berdasarkan kelalaian, namun prinsip tanggung jawab ini masih berdasarkan
kesalahan. Modifikasi ini merupakan masa transisi menuju pembentukan tanggung
jawab mutlak.
Ø Prinsip Tanggung jawab Berdasarkan Wanprestasi
Selain mengajukan
gugatan terhadap kelalaian produsen, ajaran hukum juga memperkenalkan konsumen
untuk mengajukan gugatan atas wanprestasi. Tanggung jawab produsen yang dikenal
dengan wanprestasi adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak. Ketika suatu produk
rusak dan mengakibatkan kerugian, konsumen biasanya melihat isi kontrak atau
perjanjian atau jaminan yang merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis
maupun lisan. Keuntungab bagi konsumen dalam gugatan berdasarkan teori ini
adalah penerapan kewajiban yang sifatnya mutlak, yaitu suatu kewajiban yang
tidak didasarkan pada upaya yang telah dilakukan penjual untuk memenuhi
janjinya. Itu berati apabila produsen telah berupaya memenuhi janjinya tetapi
konsumen tetap menderita kerugian, maka produsen tetap dibebani tanggung jawab
untuk mengganti kerugian. Akan tetapi, dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan
wanprestasi terdapat beberapa kelemahan yang dapat mengurangi bentuk
perlindungan hukum terdapat kepentingan konsumen, yaitu :
1)
Pembatasan waktu gugatan.
2)
Persyaratan pemberitahuan.
3)
Kemungkinan adanya bantahan.
4)
Persyaratan hubungan kontrak, baik
hubungaan kontrak secara horizontal maupun vertikal.
Prisip Tanggung Jawab Mutlak
Asas tanggung jawab ini
dikenal dengan nama product
liability. Menurut prinsip ini, produsen wajib bertanggung jawab
atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang beredar
dipasaran. Tanggung jawab mutlak strict
liability,yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak
penggugat sebagai dasar ganti kerugian, ketentuan ini merupakan lex specialis
dalam gugatan tentang melanggar hukum pada umumnya. Penggugat (konsumen) hanya
perlu membuktikan adanya hubungan klausalitas antara perbuatan produsen dan
kerugian yang dideritanya. Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab ini,
maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk barang yang cacat atau
tidak aman dapat menuntut konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau
tidanya unsur kesalahan di pihak produsen.
Alasan-alasan mengapa
prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah :
v Diantara korban / konsumen di satu pihak ada produsen di lain pihak, beban
kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi.
v Dengan menempatkan / mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen
menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan, bilamana
terbukti tidak demikian dia harus bertanggung jawab.
Daftar
Pustaka
https://mardyantongara.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar