Sabtu, 30 November 2013

Pantun


       Asam kandis asam gelugur
Ketiga asam di riang-riang
Menangis awak di pintu alam kubur
Teringat badan malas sembahyang

Puisi MATAHARI-MATAHARI


MATAHARI-MATAHARI

Engkau yang tiap hari menyinari bumi kami dan mengatur siang dan malam kami
Engkau bersinar pada saat ini
Ketika kami berkumpul mencari
Apa yang harus kami lakukan untuk masa kini dan masa depan
Bangsa indonesia, anak-anak kami, anak-anak cucu kami dan cucu-cucu mereka
Sinarilah hati kami dan pikiran kami

Agar menjadi terang benderang hingga kami dapat melakukan yang perlu kami lakukan
Agar generasi kami, anak-anak kami dan cucu-cucu kami dapat meneruskan langkah bangsa kami ke masa depan yang sudah menunggu di balik pintu waktu.
Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami.

Puisi POTRET TUKANG SAMPAH


POTRET TUKANG SAMPAH

Dengan perut lapar dan harapan kosong
Aku menelanmu, jakarta
Kukunyah-kunyah sebuah mikrolet tua
Onggokan sampah telah jadi menu utamaku
Roda gerobak adalah sendok dan garpu

Tuhan, jangan beri aku uang
Baunya lebih kecut ditimbang sampahku
Mendingan di bayang-bayang pohon mangga
Aku menyiapkan cerita untuk anak cucu
Untukmu, jakarta
Untuk pengemudi bajaj, penyalur genteng
Dan pedagang kaki lima

Jakarta, seribu tahun genap sudah
Engkau masih compang-camping, luka-luka
Tangis bayi dan jerit wanita di mana-mana
Bianglala di atas perkampungan
Bikin cinta terbakar dalam perut lapar

Puisi SENJA DI PELABUHAN KECIL


SENJA DI PELABUHAN KECIL

Ini kali tidak ada yang mencari cinta. 
Diantara gudang, rumah tua, pada cerita Tiang serta temali, Kapal, perahu tiada berlaut. 
Mengembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. 
Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. 
Tidak bergerak dan kini tanah dan air hilang ombak.
Tiada lagi. 
Aku sendiri. 
Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap-pengap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

Puisi TANAH KELAHIRAN


TANAH KELAHIRAN 

Seruling di pasir ipis, merdu antara gundukan pohon pina, tembang menggema di dua kaki, Burangrang-Tangkubanprahu.
Jamrut di pucuk-pucuk, jamrut di air tipis menurun.
Membelit tangga di tanah merah, dikenal gadis-gadis dari bukit.
Nyanyian kentang sudah digali, kenakan kebaya ke pewayangan
            Jamrut di pucuk-pucuk, jamrut di hati gadis menurun

Puisi bertema anak Indonesia


Anak-Anak Indonesia

Kehilangan kandang dikampung mereka
Anak-anak indonesia merangkak di lorong-lorong kota gelap
Berjejal mereka di gerbong-gerbong kereta api senja
Terimpit dalam bus-bus kota
Menggelepar dalam gubuk-gubuk tanpa jendela
Anak-anak indonesia, akan digiring kemanakah mereka

Bagai berjuta bebek mereka bersuara
Menyanyi lagu tanpa syair dan nada
Sebelum matahari terbit, anak-anak indonesia
Berderet di tepi-tepi jalan raya, menggapai-gapaikan tangan mereka ke gedung-gedung berkaca
Yang selalu tertutup pintu-pintunya
Dari pagi hingga sore mereka antre lowongan kerja
Tapi lantas dibuang ke daerah transmigrasi

Terusir dari tanah kelahiran (demi bendungan, dan lapangan golf, katanya) anak-anak indonesia
Tercecer di pasar-pasar kota, di kaki hotel, dan biro-biro ekspor tenaga kerja
Anak-anak indonesia, akan dibawa kemanakah
Ketika bangku-bangku sekolah bukan lagi dewa yang bisa menolong nasib mereka?